CERITA PENDEK
Ternyata, punggung Bapak makin kecil
Beberapa dari kita mungkin merasa seperti ini, punggung bapak yang dulunya terlihat kekar dan besar sekarang sudah mengecil dan bungkuk. “Ah, waktu terasa cepat juga ya”, kalimat itu yang sering terlintas dipikiran.
Hal ini juga yang beberapa hari lalu terjadi. Saat itu kami sekeluarga berkunjung ke tempat kerabat. Tempat ini cukup jauh dari tempat tinggal kami yang ada di pinggir kota. Keluarga kerabat dari Ibu memang tinggal di desa untuk melanjutkan usaha pertanian milik mertuanya, jadi memang tidak bisa ditinggal begitu saja, apalagi sekarang anak dari kerabat tadi sudah terbang ke Inggris untuk melanjutkan studinya. Ya, bisa ditebak studi yang ditempuhnya memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pertanian. “Yasudah memang pengennya dia begitu jadi ya orangtua dukung saja selama ada biaya”, kata kerabat sambil tertawa bangga anaknya sudah sampai Inggris sedangkan orangtuanya tetap jadi petani.
Sore harinya sebelum kami pulang ke rumah, Bapak diajak oleh kerabat untuk paling tidak jalan-jalan menikmati ladang sawah yang ada belakang rumah. Karena Bapak dan kerabat tadi begitu semangat, secara tidak sadar aku tertinggal di belakang. Sore itu terasa sangat sensitif, mungkin karena angin pedesaan yang jarang berhembus di antara gedung-gedung kota. Seiring kaki melangkah lebih jauh ke tengah-tengah bentangan sawah yang luas, entah mengapa punggung Bapak terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku pikir mungkin karena aku yang bertambah tinggi saja jadi tidak masalah juga. “Nduk, cepet sini jangan ngalamun!” “Iya pak”, seruku tidak sadar bahwa aku terbawa sebentar oleh angin sawah sore itu.
Selama berjalan-jalan sore, aku memang lebih sering melamun daripada mengikuti kata-kata kerabat yang bercerita tentang ladang sawahnya yang semakin sempit karena harus dijual. Satu demi satu alasan pembenaran bahwa Bapak sudah tua beterbangan di atas kepala entah dari mana. Satu yang sangat pasti adalah status ‘om’ yang dulu selalu melekat dengan bapak sekarang sudah naik pangkat menjadi ‘mbah’. Tersadarkan aku oleh panggilan keponakanku dari jauh yang berteriak, “Mbah sudah mau maghrib!”. Suara itu datang dari sebrang ladang melengking tinggi. “Ternyata keponakanku sudah cukup besar untuk memanggil kakeknya seperti itu”, pikirku. Ternyata memang benar, Bapak sudah tua dan aku sudah dewasa.
Selama perjalanan pulang aku lebih banyak melamun daripada ikut pembicaraan Ibu dan Bapak di kursi depan. Memori-memori masa kecil silih berganti lewat di depan mata. Bapak yang dulunya tinggi dan kokoh, sekarang bungkuk dan kecil. Kadang aku bandingkan ingatan-ingatan itu dengan punggung Bapak sekarang. Tanpa sadar air mata mulai mengalir, Bapak sudah tua dan Bapak harus bahagia.
Dari teman di Jakarta, 19 Mei 2015