cerita pendek

Serdadu

hernowoadin
3 min readSep 28, 2020

Malam hari ini aku ditemani sandal putih hijau berjalan menepati suruhanmu. Cukup larut kau memintaku datang. Cafe tanpa sekat ini tempat kesukaan orangtuamu, remang-remang. Katamu ini tempat orangtuamu dulu berkencan. Bulan masih ada di ujung langit, bulat sempurna. Pemilik Cafe ini hafal, sesaat setelah aku datang pasti akan berkata “biasa kan?”, dan biasanya kau tersenyum lebar menjawab dengan sangat-sangat-sangat semangat “iya mas! Jumbo ya!”.

Angin berhembus pelan. Pesanan sudah datang, uap panas diatas meja berhamburan kemana-mana. Selagi ku pegang gagang cangkir ini teringat akan cerita yang pernah kau ceritakan. Cerita tentang tawanan yang kau ibaratkan dirimu.

Fajar belum menampakan wajahnya. Hawa dingin malam hari masih menusuk hingga tulang. Seorang tawanan dengan kaki lemasnya berlutut diatas kayu-kayu tua. Tawanan ini tidak terlalu tua. “kuberi kau beberapa menit hingga pipa cerutu ditanganku ini padam atau saat matahari sudah terlihat dan menyentuh pohon disana”. Kata polisi disampingnya. Hawa hujan tadi malam masih terasa. Harum tanah ini masih sama dengan kemarin. “Ah, mungkin ini memang sudah waktunya” pikirnya.

Tempat ini sepi, hanya terdengar suara burung dan pohon yang mengelilingi tebing. Rel disampingnya kadang bergetar, “apa kereta akan lewat sini?” tanyanya dalam hati. Rel kereta ini memanjang jauh dan menghilang ke dalam hutan diujung tebing yang sangat gelap. Menggigil ia rasakan, entah apa yang ia perbuat, entah salah apa ia sampai disini, tawanan ini lupa.

“Sayang, bagaimana hari ini? Semuanya lancar kan?”, hanya kalimat ini yang membekas diingatannya. Pertanyaan istrinya ini yang ingin sekali dijawabnya dengan lengkap, A sampai Z, dari awal ia keluar pintu rumah hingga masuk lagi. Namun, “Ya, seperti biasanya”, kalimat yang pasti ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan tadi. Penyesalan yang lain datang terus-menerus. Perasaanya sangat kacau. Ditambah lagi ketika ia mengingat bagaimana istrinya mati dibunuh.

“Jangan tidur tukang cabul!”, teriak polisi dibelakangnya. Dua polisi yang lain diam saja dan tidak bergeming sama sekali, seperti rutinitas ini sangatlah biasa. “Tenang saja nak, ini akan sangat cepat”, kata polisi yang ada dihadapannya itu, terlihat pakaiannya sedikit lebih baik dari pada dua polisi yang lain, mungkin pangkatnya lebih tinggi pikirnya.

Terkadang melihat keatas jauh lebih baik daripada melihat kebawa. Tawanan ini coba untuk menenangkan pikirannya, melihat langit diatasnya yang meresap hangatnya matahari pagi ini. Mendengar suara pohon yang tertiup angin, burung yang mulai keluar dari sarangnya, bau tanah setelah hujan, dan detak jantungnya tenang. Detak jantungnya pelan. “Baiklah, aku akan pulang”, pikirnya.

Polisi dibelakangnya melangkah maju dengan decitan suara kayu. Memegang gagang kayu basah sepinggang. Polisi didepannya mulai membacakan segala kesalahan tawanan ini dengan santai dan pelan. Sesaat sebelum pembacaan suci itu selesai di akhir kalimat, gagang basah tadi ditarik dengan keras. Tidak terdengar apapun lagi, Pagi hari itu mulai gelap sampai hilang total. Tidak ada rasa lagi. Ia mencoba meraih napasnya yang hilang. Hingga tiba saatnya tenaga habis dan kaku.

“Ini bodoh, aku tidak paham kenapa pemuda itu menggali kuburannya sendiri”

Setidaknya itulah yang aku ingat dari apa yang kau ceritakan. “Jangan coba cabuli mimpimu atau setidaknya diam saja dipojok dunia ini, maka tidak akan ada yang mengganggumu”, katamu dengan melihat keatas seakan sudah saatnya kita pergi.

--

--

hernowoadin
hernowoadin

Written by hernowoadin

I love when words spill out effortlessly, just as I know yours will.

No responses yet