Kata Kinan yang Normal yang Salah

karena yang tidak normal jumlahnya banyak

hernowoadin
4 min readMar 23, 2024
Photo by Nathan Cima on Unsplash

Namanya Kinanti. Dia adalah manusia aneh karena kenormalannya. Di dunia yang sakit ini aku menemukan manusia unik seperti dia. Bukan karena dia alim beragama, tidak. Tapi karena karena hal-hal yang sering dianggap biasa oleh orang lain, ternyata di mata Kinanti, adalah hal-hal yang aneh dan terkadang tidak masuk akal yang kemudian kita normalisasi.

Kinan ini adalah perempuan yang aku temui ketika orientasi mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Meskipun kami berasal dari jurusan yang berbeda — Aku dari jurusan Teknik dan dia dari Akuntansi — namun, kami memiliki minat dan kebiasaan yang berbeda. Aku lebih suka di lapangan, dia lebih suka di depan meja.

Sosok unik ini berkacamata dengan wajah tidak terlalu mirip dengan ibunya yang Islam. Orang-orang sering berkomentar wajahnya lebih mirip dengan ayahnya. Aku sering mengatakan hal ini padanya, dan teman-temannya juga setuju.

Aku suka caranya merespon setiap lelucon yang aku buat. Ketika aku bercanda dan dia merasa itu lucu, kebiasaannya selalu sama: tertawa hingga suaranya mencapai frekuensi tertinggi dan tidak terdengar lagi. Kakinya lemas, kehilangan tenaga, dan ia terjatuh perlahan sambil mencoba menarikku turun bersamanya.

Bagi Kinan, saling berbagi dan memberi itu adalah hal yang biasa. Sangat biasa. Sedekah adalah hal yang normal, tidak ada yang aneh, dan tidak ada yang luar biasa. Seperti satpam yang menjaga keamanan kompleks, seperti dokter yang memberikan resep obat, seperti kita para pelajar yang belajar, tidak ada yang spesial.

Kata kinan dengan lantang, “Kan, memang wajar jika ada orang kaya yang sedekahnya terlihat sangat banyak untuk kita. Menurutku, itu hal yang biasa. Dengan harta sebanyak itu, bersedekah dengan jumlah besar memang hal yang normal, apa yang perlu dikagumi? Hartanya? Sedekahnya? Kan, sama seperti kita, semuanya titipan Tuhan”.

“Hanya nominalnya saja yang berbeda. Toh, semua nominal itu akan kembali kepada Sang Pencipta”, sambungnya.

“Justru yang aneh itu kamu. Kenapa mempermasalahkan sesuatu yang bukan urusanmu? memang sedekahmu tidak biasa biasa saja? Kalau hanya memenuhi syariat dan aturan minimal dari agama, ya, itu namanya pelit”, katanya sambil tertawa.

Menurutnya, baik kaya maupun miskin, yang istimewa adalah niat dan penghambaannya kepada Sang Pencipta. Tidak lebih dan tidak kurang.

Menurut Kinan, hal yang normal juga termasuk dengan tidak terlalu memusingkan diri sendiri di dunia yang sakit ini. Seperti memusingkan rasio lontong, bumbu kacang, dan sate. Terlihat sepele tapi saat salah satunya habis tidak perlu menyalahkan cara makan diri sendiri. Atau bahkan tidak bingung dan mempertanyakan kenapa memakai celana dari kaki kanan dan tidak dari kaki kiri.

“Berarti itu termasuk tidak memusingkan kenyataan jika nilai IPK-mu lebih rendah dari aku, kan, Nan?” ujarku dengan nada menyindir.

Aku berlari menghindari tendangannya yang spontan, lalu menuju warung sate terlebih dahulu. Jam sudah mulai malam, dan kami berencana makan sate di depan kampus, makanan favorit kami sejak ospek dulu.

Aku setuju dengan Kinan. Yang seharusnya dinilai tidak normal adalah memakai tangan untuk memukul, berpapasan tapi saling lempar dengki. Berkarya tapi hilang arti yang penting populer dan banyak duit. Juga menjadi pemimpin yang hanya bisa bermimpi, tanpa tindakan perubahan dan lebih suka menyelamatkan diri sendiri daripada tanggungjawabnya.

Seperti berdebat. Jangan terlalu diambil pusing karena berdebat sebenarnya bukan menetukan siapa yang benar dan salah. Tapi, untuk saling mengetahui dan menilai isi hati serta pikiran diri sendiri dan orang lain. Pernah ada yang bilang, berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua.

“Tapi, jika kita berdebat, aku mau terus kok,” katanya dengan yakin.

“kok gitu, kenapa?”

“Soalnya kita jadi sama-sama bodoh,” jawabnya sambil tertawa.

Dia berlari menghindari tanganku yang ingin menghajar pundaknya. Hari sudah malam, kita sudah kenyang dan saatnya untuk pulang.

Seperti yang sudah aku katakan, Kinan adalah sosok yang unik. Baginya, kehidupan adalah tentang berterimakasih dan memberi dengan ikhlas, serta menghargai hal-hal kecil yang sering diabaikan oleh orang lain.

Tiba-tiba, Kinan berkata, “Sebenarnya, masalah manusia itu sepele. Kita terlalu terpaku pada masalah-masalah kecil yang sebenarnya tidak begitu penting. Kita lupa untuk bersyukur kepada Tuhan dan pada diri sendiri.”

Kita sering terlalu sibuk dengan masalah sehari-hari dan lupa untuk melihat hal-hal kecil di sekitar kita. Kita tidak bisa menahan diri dari sibuknya dunia sakit ini untuk sekadar menikmati keindahan orang-orang, pohon-pohon, langit, jalan, dan orang-orang yang kita kasihi.

Aku setuju dengannya. Tapi bukan seperti yang sering Ia lakukan.

Kataku pelan, “I love you

“Makasih”, kata Kinan dengan muka datar.

“Lah?????”

Kinan berbelok, menatapku, dan menjulurkan lidahnya keluar, seolah mengejek lalu tersenyum. Dia membalas perkataanku tanpa mengeluarkan suara, membentuk mulutnya dengan kalimat yang aku inginkan. Aku jengkel dan aku suka. Seperti itu interaksi kenormalan Kinan dan Kepasrahanku selama ini. Aku berharap bisa bercerita lebih banyak lagi. Mungkin di lain hari.

--

--

hernowoadin
hernowoadin

Written by hernowoadin

I love when words spill out effortlessly, just as I know yours will.

No responses yet