Kamu yang ketiga
Setidaknya ada 3 hal besar di hidupku ini. Lahir, mati, dan kamu.
Masih ingat diselaput-selaput otak ingatanku tentang kamu yang jauh dari jangkauan. Sepertinya manusia-manusia di tanah ini tidak pantas aku sebut indah jika kamu masih ada di jarak pandangku. Kalau kamu tidak muncul di hidupku, mungkin aku tidak akan menderita saat ini.
Ditulis di sebuah buku, “kalau suatu hal tidak menakutkan, mungkin hal itu tidak pantas diperjuangkan”. Begitu juga keyakinanku saat itu, hal-hal menakutkan di dunia ini seharusnya tidak begitu saja ada untuk menakut-nakuti orang-orang ‘numpang’ di bumi Tuhan ini. Sebaliknya, ketakukan akan membangunkan hati-hati kecil makhluk yang bergerak. Setidaknya yang bisa selamat ialah yang terus maju ditengah ketakutannya.
Namun tidak denganku. Aku tidak punya nyali untuk menjawab tantangan semesta. Hidup bagiku adalah gang-gang kecil yang harus dilewati dengan hati-hati hingga sampai diujung jalan besar. Tidak perlu tantangan, aku hanya ingin selamat sampai tujuan. Tapi prinsip itu runtuh setelah aku bertemu kamu.
Sudah 10 tahun kamu tidak menghirup udara kotor bumi ini. Ternyata kamu orang yang cukup malas, hanya tidur selama ini di dalam tanah. “Apa tidak bosan?”, Pikirku.
Seharap-harapku jika kamu masih hidup adalah menyaksikan jatuh cinta dan patah hati paling burukku. Bagaimana aku menjadi seorang ayah dari bayi perempuan lucu yang mirip ibunya. Bagaimana aku dari diterima dan bekerja di tempat yang dulu kita janjikan berkerja bersama disana. Tentu saja banyak sekali kenangan yang ingin aku beritahu padamu secara langsung. Tapi, tempatmu sekarang lebih baik daripada disini, kan?
Aku bersyukur bahwa laki-laki yang dulu kamu pilih untuk menangis bukan orang lain, tapi aku. Kamu juga pasti masih ingat bagaimana aku gagal dalam fase-fase hidupku berkali-kali, aku bersyukur kamu ada di sana, di tempat dan waktu yang tepat, bersamaku.
Aku masih ingin berbagi momen-momen kecil denganmu. Berbagi martabak manis di depan gang rumahmu, beberapa sesi kecil karaoke dengan promo murah tiap awal bulan. Pesan singkatmu di gawai yang isinya selalu bertanya aku dimana. Saling tantang level pedas di setiap tempat makan. Selalu mengawali suit untuk menentukan siapa dan kendaraan siapa yang dipakai untuk jalan. Berjalan kaki di gang-gang kecil komplek rumahku hingga larut malam. Seluruh ejekan, larangan, dan pukulan kecilmu jika aku merokok di depanmu dan momen-momen kecil lainnya.
Banyak yang menghadirkan keindahan waktu itu yang aku harap bisa hidup di dalamnya satu kali lagi. Tentu saja tidak mungkin. Iya, aku memang selalu tenggelam dalam fantasi-fantasi itu. Karena itu, aku sudah berjanji hanya akan mengenangnya dan melanjutkan kehidupan ini. Aku percaya kamu pasti ingin aku mengalami hal-hal baru, melakukan hal-hal keren, makan makanan enak, dan merasakan tangis-tangis sedih lainnya.
Sudah lama kamu tidak bersama kami, bersama tersesatnya manusia di bumi ini. Satu dasawarsa lalu kamu berpamitan dengan kami. Tidak banyak kami-kami yang sedih, tapi aku harap kamu bahagia di atas sana. Sekarang yang bisa aku yakini adalah aku akan selamanya terikat denganmu melalui setiap tawa bahagia, air mata, setiap perayaan, dan doa yang selalu aku lantunkan. Aku dan bumi ini bersyukur kamu pernah bersama kami. Jangan khawatir, aku pasti bahagia. I miss you more than you ever know, Din.