Kami yang Berbahagia
Kalau tidak Bahagia tidak Nikmat
Halo, aku Kinan. Kemarin, Miko dan aku menulis cerita yang tidak bagus dengan tulisan berantakan di sana-sini. Kami hanya ingin mengenang sesuatu dengan indah. Semoga melalui tulisan-tulisan itu menjadi hal baik untuk kami dan orang yang membacanya.
Kata Miko yang Polos yang Selamat
kalau tidak selamat berarti tidak taat aturan
hernowoadin.medium.com
Sekarang aku ingin menulis tentang kami, dan ini akan jadi tulisan terakhir.
Manusia berjodoh untuk saling bertemu, antara dia yang mengobati atau kamu yang mengobati. Kalau sudah tidak ada yang perlu diobati, tugasnya sudah selesai, boleh pergi.
Untungnya, kami berdua sama-sama sakit dan butuh pengobatan tiap pagi dengan sedikit dorongan “ayo nanti telat” dan kemalasan lainnya untuk beranjak dari kasur. Jadi, mungkin kami ditakdirkan saling mengobati untuk jangka waktu yang sangat lama.
Ah, sering juga Miko membuat masalah jadi terlihat ringan.
“Aku lagi suka bengong jadi isi kepalaku kosong,” katanya dengan nada mengeluh.
“Enak banget bisa kosong gitu, Mik.”
“Kalau otak kamu lagi penuh pikiran, sini bagi-bagi biar imbang.”
“Boleh banget, 70–30 lah boleh. 70 kamu, 30 aku.”
“Kok gak 50–50?” protesnya.
“Oke, gapapa 50–50, tapi kunci motor gak boleh titip di tasku lagi, ya!”
“Yah, oke 70–30 aja. Aku tidak sanggup membawa kunci-kunci itu sendirian,” jawabnya dengan pura-pura cemberut.
Tenang, kami bukan pasangan dengan tingkah unik setiap saat. Kami bisa romantis kok. Dia romantis atau aku yang selalu terbawa suasana. Misalnya, kami pernah (sering, hehe) tetap menggunakan payung walaupun sudah tidak hujan lagi. Aku tahu Miko cuma membuat alasan agar bisa memelukku dari samping. Aku suka, jadi tidak mungkin protes.
Aku bersyukur punya pasangan yang satu selera humor denganku. Pernah suatu hari aku tidur terlalu malam. Alhasil, aku pun bangun kesiangan. Pagi itu perasaanku tidak enak. Setengah sadar aku mendengar Miko tertawa cekikikan. Aku paham ada hal usil dan super jahat yang akan dia lakukan. Otak usilnya memang selalu bekerja kalau ada aku di rumah. Miko menggulung selimut yang menutupi badanku, lalu menghujani pipiku dengan ciuman sebelum menendangku dari kasur hingga jatuh ke bawah. Kalau tidak cinta, mungkin aku sudah melempar sesuatu padanya.
Dari semua hal itu, kami juga pernah berkomitmen. Kami tahu kalau “kami” tidak bisa selamanya, momen indah berdua pasti ada ujungnya. Bahwa perpisahan mungkin lebih cepat daripada yang kami bayangkan. Tidak ada yang pernah siap dan tidak ada yang pernah mau. Maka dari itu, kami berdua sudah memutuskan untuk selalu menghargai setiap hari, hidup sepenuhnya dari hari ke hari. Kami menyediakan waktu untuk berdua saling berbagi. Karena pada akhirnya, momen perpisahan itu pasti datang dan aku ingin dia pergi tanpa penyesalan, dengan kenangan bahagia bersamaku.