Di dalam Jas Hujan bersama Bapak
Suranto pulang bersama Bapak dari sekolahnya, sekolah dasar, letaknya jauh di kota. Bapak menitipkan Suranto pada saudaranya yang menjadi guru matematika di sana. Hari itu Bapak belum datang, teman-teman Suranto sudah pulang dijemput oleh suruhan orang tua mereka, naik mobil sedan.
Siang itu hujan deras. Walaupun angin tidak menggoyahkan ujung pohon Cemara, tapi Suranto cemas bapaknya tidak bisa datang. Selang beberapa saat dari kejauhan motor tahun 80an masuk dari gerbang menuju gedung sekolah. Bapak datang memakai jas hujan berwarna biru dengan tambalan di bahu dan lengan.
“Ayo, naik. Bapak waktunya dikit,” ujar Bapak. Suranto mengiyakan dengan anggukan kepala. Sadel aus motor Honda Astrea 800 ditapaki dengan mantab. Hanya 10 detik badan mungil Suranto masuk di dalam jas hujan Bapak.
“Udah?” tanya Bapak. “Udah, Pak,” jawab Suranto.
Pelan tapi pasti motor tua itu bergerak keluar dari sekolah. Hujan masih turun. Bibir Bapak sudah memutih karena kedinginan, bergegas pulang untuk secangkir teh hangat dan makan siang.
Kehidupan waktu itu sulit. Perusahaan mem-PHK banyak karyawan, termasuk Bapak. Untuk nafkah, Bapak baru saja membuka bisnis mebel. Walaupun rumah masih kontrakan, tapi Suranto tidak pernah mempertanyakan rumah itu milik siapa.
Di dalam jas hujan, Bapak dan Suranto masih bisa saling bicara. Bapak masih dengan pertanyaan yang sama bertanya bagaimana sekolah hari ini dan PR apa yang diberikan guru. Suranto dengan jawaban yang sama juga menjawab pertanyaan-pertanyaan Bapak.
“Pak, kenapa bapak bukan orang kaya?” tanya Suranto. “Karena Bapak dapat jatah miskinnya, le, nanti kamu yang dapat jatah kaya, ya,” jawab Bapak enteng.
Bapak tahu di dalam hati kecil anaknya pasti ada rasa ingin memiliki sesuatu seperti teman-temannya. Tapi, Suranto tidak pernah menunjukkan itu. Bapak tahu anaknya ingin mainan yang bagus, tapi Suranto lebih memilih mainan dari bekas potongan kayu mebel tempat ayahnya mengerjakan pesanan orang.
Begitu juga sepeda. Suranto tidak mengeluh hanya dibelikan sepeda bekas, dicat ulang agar terlihat baru. Permintaan satu-satunya dari anak yang hidup dengan teman-temannya yang super kaya adalah dijemput Bapak dengan Astrea-nya.
Pertanyaan demi pertanyaan dijawab dengan sabar. Suranto anak yang penasaran, semua hal ditanyakan hingga Ia puas, tapi entah mengapa siang itu Ia ingin menanyakan semuanya. Seolah-olah Bapak tidak bisa menjemput lagi besok dan besoknya lagi.
“Pak, kenapa Bapak nikahnya sama Ibu?”, tanya Suranto dengan lugu. “Ya, karena Bapak ini cemen,” jawab Bapak setelah diam agak lama.
“Bapak orangnya sering takut, makannya Bapak butuh istri pemberani;
“Bapak dulu gak pernah sholat, makannya dikasih istri sholehah;
“Bapak dulu pemalu, jadi Ibu yang ngomong terus;
“Bapak beruntung ketemu Ibu kamu, le,” sambung Bapak dengan yakin.
Hujan siang itu tidak berubah, tetap, tidak semakin deras, tidak juga reda. Angin dingin tetap masuk lewat kibasan-kibasan kecil tidak beraturan dari sela-sela jas hujan.
“Tapi, kenapa Bapak sama Ibu ga satu rumah, Pak?” tanya Suranto penasaran.
“Mungkin, karena Ibu tidak merasa beruntung juga. Tapi kamu jangan sedih, Bapak sama Ibu tetep jadi bapak sama ibu kamu.”
“Iya, Pak.”
Seperti tidak ada ujungnya, jalanan hari itu seperti berputar-putar. Suranto tidak tahu sudah sampai mana dia, yang Suranto tahu hanya jalanan aspal hitam yang terus lewat di bawah knalpot motor Bapak.
“Pak, berdoa itu isinya apa?”
“Doa itu banyak isinya, banyak bentuknya.”
“Bapak doanya apa?”
“Isi doa Bapak biasanya cuma bersyukur, Bapak belum berani minta-minta ke Tuhan.”
“Kenapa, Pak?”
“Bapak takut jadi hamba durhaka. Tuhan sudah kasih semua nikmat yang kita butuhkan, kenapa harus dengan sombongnya kita sok tahu minta yang kita mau,” jawab Bapak pelan. “Ya, tapi, Tuhan, kan sudah janji akan mengabulkan semua doa, jadi, Bapak berdoa terus supaya kamu jadi orang sukses.”
Sesingkat itu pertemuannya dengan Bapak di mimpinya. Suranto masih ingat pesan terakhir dari Bapak sebelum ia masuk ke pintu rumah. Sebelum bapak menghilang dan Suranto bangun, Bapak berpesan untuk tetap berbuat baik walaupun keadaan tidak baik. Cari teman hidup yang sama beruntungnya bertemu satu sama lain. Berdoa karena rasa terima kasih sudah diberi nikmat oleh Yang Mahakuasa tidak kurang dan tidak lebih.
“Bapak pamit, ya, titip salam buat Ibu.”
“Iya, Pak.”