cerita pendek

Ante Meridiem

hernowoadin
3 min readJan 11, 2022

Tidak seperti biasanya Dinda datang ke rumah. Biasanya Ia lebih sering bertanya “kamu dimana?” daripada “aku ke rumah ya”. Dinda lebih suka ditemui daripada bergerak untuk menghampiri. “Wah deket dong, kesini ya Nat temenin aku hehe”, kemudian mengirim alamat atau nama tempatnya saat itu juga. Hingga saat aku menulis ini hal tersebut tetap menjadi misteri, kenapa aku merasa harus datang ke tempat Dinda berada.

Dinda itu pacar bukan, teman juga bukan. Kami pertama kali dipertemukan secara sengaja oleh semesta. Tahun baru 2016, waktu itu kami tidak sengaja ‘click’ di satu dating app yang secara kebetulan mempertemukan dua orang tidak punya kegiatan di malam ‘3–2–1 dor”, ya, malam tahun baru. Seingat Dinda waktu itu kami sama-sama suka sate kambing yang kami tulis di profil masing-masing. Singkat cerita kami akhirnya setuju untuk makan sate kambing di dekat rumah Dinda hari itu juga. Malam tahun baru itu kami memutuskan untuk tetap saling menghubungi satu sama lain.

Musim hujan, 27 Desember, 23.15, waktu Jakarta. Dinda, dengan kaos kaki bermotif kucing dan sweater putihnya datang ke rumah dengan membawa 6 kaleng bir — alias satu pack promo tahun baru. Ia memintaku untuk menganggap dia tidak ada selagi aku mengerjakan proyek susulan dari kantor. Saat itu, perusahaan tempatku bekerja memang sedang sibuk-sibuknya karena beberapa klien meminta proyek diselesaikan sebelum tahun baru.

Aku, sebagai tuan rumah yang baik hati tentu menawarkan makanan sebagai teman minum birnya. Tetapi, Dinda menolak, “nanti aku ambil sendiri, Nat”. Aku mengangguk, “ambil di kulkas ya, Din”, imbuhku. “Yaa”, jawabnya, “Eh, aku duduk di sofa ini gapapa ya?” sambil menunjuk sofa yang ada di belakangku. Aku hanya mengangguk sambil terus melihat laptop di depanku. Awalnya hening, tapi seperti yang sudah aku duga, Dinda tidak akan berdiam diri tidak dianggap saat kami hanya berdua di satu tempat. Sambil minum birnya dan duduk di sofa di belakangku, Dinda mulai bercerita apapun yang lewat di kepalanya. Tentang jalanan yang macet sewaktu ke rumah tadi, tentang bagaimana tetangganya masih memanggilnya Dindin, tentang bagaimana Ia akhirnya memutuskan untuk mengganti warna tembok kamarnya, mempertanyakan kenapa manusia tidak bisa terbang, kenapa orangtuanya tidak pernah bertanya kabarnya, kenapa akhirnya dia memutuskan untuk datang ke rumahku tanpa diundang, dan masih banyak lagi.

Aku sebenarnya heran, kenapa Dinda masih tahan terus bercerita padahal respon dariku hanya jawaban singkat — ya, terus, oh gitu — Dinda seperti melampiaskan semuanya waktu itu. Malam semakin larut, suara hujan yang tadinya sangat berisik perlahan mulai hilang. Hantaman air di atap juga sudah berubah menjadi rintik hujan yang sangat pelan. Semuanya hening, aku bingung, kenapa suara Dinda juga hilang. Ruangan menjadi senyap tanpa suara.

01.44 AM, aku berbalik dan melihat Dinda sudah tidur di atas sofa. Dinda kedinginan, tanganya sudah diapit kedua lututnya. Aku tertawa kecil, katanya sih dia insomnia jadi butuh orang yang menemani tapi kenapa malah tidur duluan. “Mana ada orang insomnia malah tidur nyenyak di rumah orang”, pikirku tidak percaya. Malam itu memang dingin sekali, air sudah tidak jatuh tapi berganti dengan angin dingin yang perlahan masuk.

01.46 AM, aku mengambil selimut dari lemari dan mendengar Dinda yang bersuara karena kedinginan. Sambil membentangkan selimut agar Dinda tidak bersuara lagi, aku melihat ada yang menarik. Setelah duduk menghadap sofa, aku secara tidak sengaja memperhatikan wajahnya saat itu. Dengan ekspresi tidur Dinda, aku penasaran mimpi apa dia saat itu. Wajah gahar dan kerutan di dahinya sangat dalam, “ini dia mimpi berantem sama siapa coba, sampe sangar gini mukanya”, pikirku sambil tertawa kecil. Aku — dengan suara kecil, mulai menirukan intonasi Dinda jika sedang marah, “Ya gak bisa gitu dong pak, kan bapak yang tiba-tiba belok gak kasih lampu sein! Bapak mau berantem sama saya!?” Aku terus tertawa karena ini pertama kalinya aku bisa seperti ini. Kemudian, semua kembali hening.

01.53 AM, aku tidak sadar sudah melihat garis-garis wajah Dinda sejak tadi. Hening aku salahkan karena membawa suasana ini ke dalam rumahku. Perhatianku berbaris dari alisnya, matanya, dahinya, pipi, hidung, dan bibir. Mungkin karena suasana malam di depan perapian itu membuat semua hormon yang ada dalam tubuh meningkat, aku mulai mendekat ke Dinda secara perlahan, “ini terlalu dekat” di dalam hatiku.

Dinda membuka matanya, aku kaget tapi kami tidak berkata apapun selama 20 detik. “Kamu ngapain” kata dinda, “aaa.., aku gak apa, gak mau apa apa, apasih” jawabku gagap. “Kamu mau ngapain sih, Nat”, jawabnya setengah tidur, “enggak, ga ada rencana apa-apa” jawabku menghindar.

Dinda diam, aku pun diam, kami hanya saling pandang tanpa tahu harus apa.

“Nat, kiss me”. Aku membeku, tidak tahu harus apa dan reaksi apa yang harus aku buat.

Tangannya menyentuh pipiku, jarinya mulai mengusap telingaku, hingga perlahan, dari yang aku ingat, wajah Dinda semakin besar, Dinda menutup mata, refleks aku juga ikut menutup mata dan yang bisa aku rasakan hanya bibir keringnya diatas bibirku.

--

--

hernowoadin
hernowoadin

Written by hernowoadin

I love when words spill out effortlessly, just as I know yours will.

No responses yet